Pages

Tuesday, November 10, 2015

[BOOK REVIEW] We Were Liars by E. Lockhart

242 halaman
Delacorte Press, 2014
eBook

SINOPSIS

A beautiful and distinguished family.
A private island.
A brilliant, damaged girl; a passionate, political boy.
A group of four friends—the Liars—whose friendship turns destructive.
A revolution. An accident. A secret.
Lies upon lies.
True love.
The truth.

We Were Liars is a modern, sophisticated suspense novel from National Book Award finalist and Printz Award honoree E. Lockhart. 

Read it.
And if anyone asks you how it ends, just LIE.

------------------------------------------------------------------------------------

Awalnya aku tertarik untuk membaca buku ini karena sedang melihat-lihat daftar pemenang Goodreads Choice Awards 2014. Buku ini merupakan pemenang 2014 Best Young Adult. Harapan pun mulai terbentuk sementara aku membaca sinopsis dari buku ini. Dan dengan satu kalimat terakhir dari sinopsisnya, ‘Read it. And if anyone asks you how it ends, just LIE.’ Ditambah dengan reaksi teman-temanku yang memuji ending dari buku ini, aku pun memutuskan untuk membacanya.

We were Liars bercerita mengenai ‘Liars’, kumpulan 4 orang remaja yang memiliki hubungan dengan keluarga Sinclair. Liars terdiri dari Cadence, Mirren, dan Johnny yang merupakan cucu dari kakek Harris Sinclair. Serta Gat yang merupakan ‘orang asing’ di Pulau Beechwood, pulau pribadi milik keluarga Sinclair. Liars selalu menghabiskan musim panas mereka di Pulau Beechwood. Semua berjalan dengan normal sebelum sebuah 'kecelakaan' menimpa Cadence Sinclair...

Aku sempat kaget dan sedikit bingung karena banyaknya karakter yang bermunculan di bagian awal cerita. Bab kedua mengenalkan kita pada Cadence Sinclair, tokoh utama dari cerita ini serta pemilik sudut pandang yang dipergunakan dalam cerita. Disusul dengan bab ketiga yang mengenalkan kita dengan Penny, Carrie, dan Bess bersaudara. Lalu kepalaku mulai sakit dan kesulitan untuk mencerna ketika bab empat menampilkan Johnny, Mirren, dan Gat. Aku tidak mampu memahami siapa Johnny, siapa Mirren, dan siapa Gat. Belum lagi ditambah dengan Ed dan Granny Tipper. Aku benar-benar tidak mengerti hubungan antar setiap karakter.

Satu bab hanya terdiri dari 2-5 halaman. Sehingga belum sempat aku menghapal nama satu karakter, sudah ditambah lagi dengan beberapa karakter baru. Untungnya ada gambar dari ‘pohon silsilah keluarga’ Sinclair di halaman awal cerita. Sehingga aku dapat lebih mengerti dengan melihat gambar. Tapi, bukankah sebuah novel seharusnya mampu membuat pembaca mengerti tanpa perlu menyisipkan gambar? (Well, that’s my opinion though..)

Awal cerita sebenarnya cukup menyenangkan, ada aura tersendiri dari cerita ini. Aura aneh yang tidak dapat kujelaskan namun terasa cukup unik dan menarik. Kurasa We Were Liars memberikan aura magical. Ditambah dengan sisipan cerita-cerita dongeng yang berkaitan dengan cerita, membuat cerita ini terasa sangat magical.

Kalian tahu apakah kesalahan terbesar dari membaca sebuah buku?
Dengan membangun ekspektasi terlebih dahulu. Aku tahu We Were Liars memenangkan Goodreads Choice Awards 2014, dan bahkan mengalahkan To All the Boys I’ve Loved Before yang sangat aku sukai. Sinopsisnya sangat ‘menjual’ dengan menekankan ‘ending yang mengejutkan’. Serta reaksi teman-temanku yang sepertinya memang menyukai endingnya.

Dan kalian tahu apa yang terjadi? Aku sudah dapat menebak ending dari buku ini sejak pertengahan cerita…

Aku tidak benar-benar yakin. Aku tidak tahu bagaimana kesimpulan yang kutarik dapat terjadi, tapi aku hanya tahu bahwa itu adalah satu-satunya kemungkinan untuk memberikan ‘a shocking ending’. Dan aku benar. Endingnya berjalan sesuai dengan tebakanku, yang mana mengecewakan.

Begini, sebenarnya endingnya bagus. Idenya bagus. Eksekusinya cukup bagus. Hanya saja karakternya sangat ‘flat’. Pada akhir cerita, aku hanya memasang wajah datar sembari membaca penjelasan ‘mencengangkan’ yang dituturkan oleh tokoh utama kita, Cadence Sinclair. Seluruh karakternya terasa membosankan dan tidak terhubung satu sama lain. Karakterisasi yang buruk membuatku tidak mampu bersimpati pada akhir cerita ‘mencengangkan’ itu… (Kecewa total karena ternyata banyak yang menangis membaca buku ini. Like, seriously?)

Aku rasa ending yang seperti itu seharusnya akan lebih terasa ‘keren’ jika bagian awal buku menceritakan kenangan-kenangan manis yang dialami oleh Liars. Aku hanya merasa buku ini tidak dapat menyentuh perasaanku karena setiap karakternya sendiri tidak saling terhubung. Mereka tidak benar-benar berteman. Aku hanya tidak dapat membaca, lalu membayangkan bahwa mereka benar-benar berteman. Yang terpikir olehku hanyalah jauh di dalam hati, mereka sebenarnya saling membenci satu sama lain. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kepalaku, tapi itulah perasaan yang kutangkap dari membaca buku ini…

Kurasa, aku masih terpengaruh karakterisasi di To All the Boys I've Loved Before dan P.S. I Still Love You yang sangat kusukai. Sehingga, ketika membaca buku lain tolak ukurku menjadi lebih tinggi... 

2,5 untuk We were Liars by E. Lockhart. Aku tidak tega memberikannya 2 bintang karena idenya sebenarnya brilian. Hanya saja eksekusinya sedikit ‘menyebalkan’.
Buku ini aku rekomendasikan untuk kalian yang menyukai cerita dengan plot twist, ending mengharu biru ‘katanya’, serta cerita yang membingungkan (ini bukan cemooh karena memang bagian membingungkan itu yang nantinya akan menjadi masuk akal setelah selesai membaca).

1 comment: