280 Halaman
Gagas Media, 2015
ISBN: 9797808335
IDR 56.000
Paperback Edition
Namun, dunia selalu begitu. Tak pernah abadi. Hal-hal baik terasa sebentar karena orang ingin lama-lama dengannya. Padahal, semua juga tak akan lama.
-Hal. 160
Kalau begitu, mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Padahal, sesungguhnya--sesungguhnya, bila Aku kehendaki, maka Aku jadikan kalian satu kaum.
-Hal. 167
Kalau cinta ya cinta saja, kenapa nggak ambil risiko perasaan sakit yang datang bersamanya? Kenapa orang-orang begitu takut berbeda?
-Hal. 211
Manusia tak terbuat dari angka-angka, tapi kebanyakan mereka lupa. Itu sebabnya hidup kita melelahkan dan kita begitu mudah merasa miskin.
-Hal. 247
SINOPSIS
Kamila.
Si Anal. Pengagum Sigmund Freud. Asisten dosen ilmu sosial yang sangat detail, yang selalu menjawab tiap pertanyaan di kelas. Menurut Kamila, orang-orang, terutama pada usia muda mereka, sesungguhnya punya kehausan alami akan ilmu. Baginya, hubungannya dengan Jupiter kemarin terasa seperti mimpi, sisanya tak benar-benar nyata.
Jupiter.
Mahasiswa tingkat dua. Penyuka basket, pemain gitar, perayu ulung. Ia telah menghadirkan Kamila di dalam hatinya sejak kali pertama pertemuan mereka di bawah langit siang. Baginya, ada sekelumit cerita yang harus ia ungkap. Tentang gadis yang ingin selalu ia antar pulang; tentang kisah yang datang bersamanya. Namun, ketika mereka tak lagi berjarak, ia menyadari ada sesuatu yang membuat segala hal di bawah langit siang itu terasa tak sama.
WHAT IF, tentang harapan yang terhalang. Tentang kenyataan yang tak mungkin dipungkiri. Tentang hidup yang tak selalu berpihak--hingga memaksa Jupiter dan Kamila menjadi lebih kuat daripada yang mereka sadari.
------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------
Ini adalah kali pertama aku membaca karya Kak Morra Quatro. Saat baru terbit, aku sempat sedikit penasaran karena cover-nya yang cantik. Walau pada akhirnya yang benar-benar membuatku membeli buku ini adalah karena diadakannya What If review contest. Melihat cover What If, aku jadi teringat ucapan temanku. Ia mengatakan bahwa cover Gagas itu bukan hanya cantik, tapi juga fotogenik. Cover Gagas Media itu berseni. Aku yang sebenarnya lebih suka cover novel ala kartun pun tidak mengerti ucapan temanku itu. Tapi untuk kali ini, aku mengerti. Cover What If menurutku sangat cantik dan fotogenik. Walau tetap, satu hal yang aku tidak begitu suka dari cover novel-novel Gagas adalah bagaimana terkadang foto yang dijadikan cover sama sekali tidak berhubungan dengan isi cerita. Termasuk What If, aku tidak dapat menemukan hubungan antara cover dengan isi cerita.
What If bercerita mengenai perbedaan antara dua insan yang saling mencintai. Tepatnya, perbedaan dalam hal agama. Topik yang diangkat sebenarnya sangat berat dan juga menarik. Ketika sudah mencapai pertengahan dan tahu mengenai topik yang diangkat, aku tidak dapat berhenti membaca barang sedetikpun. Aku sangat kagum akan keberanian Kak Morra dalam mengangkat topik tersebut. Diperlukan ketelitian dan perhatian ekstra dalam menulis novel dengan topik agama. Apalagi agama yang diangkat sebenarnya memang cukup sering berseteru.
Di dalam What If, kita diajak untuk mengikuti kisah antara Jupiter, seorang pria Kristen bermata indah. Dan juga Kamila, seorang wanita Islam yang sangat pintar. Aku berani bersumpah, ada sesuatu yang salah dengan tokoh novel bernama 'Peter' atau 'Piter'. Setelah keberhasilan Peter di novel To All the Boys I've Loved Before dalam mencuri hatiku, sekarang PITER di What If yang tidak henti-hentinya membuat jantungku berdebar tak karuan.
Aku benar-benar menyukai hubungan antara Kamila dan Piter. Perjuangan Piter dalam mendapatkan nomor HP Kamila benar-benar patut dinominasikan sebagai salah satu adegan ter-aww yang pernah kubaca dalam novel. Aku benar-benar menyukai betapa 'tengil' seorang Piter. Dan juga, matanya... Kumohon, adakah yang dapat memberitahuku seseorang dengan mata seperti Piter? Mata Piter tidak hitam, tetapi lebih cerah. Tidak juga cokelat, tetapi lebih kelam. Warnanya dideskripsikan seperti kopi, dan anak matanya berwarna keemasan. Kurasa mata Piter bahkan lebih indah dari mata Edward Cullen. Hahaha... Tidak aneh Kamila tidak dapat berhenti memandangi Piter dengan mata semacam itu.
Kamila sendiri sebenarnya adalah tokoh yang menarik. Kamila adalah gadis yang teramat sangat pintar. Terlihat dari dirinya yang dikisahkan sebagai asisten dosen dan pengetahuannya akan ilmu sosial politik. Di dalam buku ini, kalian akan menemukan banyak sekali teori sosial politik dan juga kata-kata khas ilmu sosial politik. Jujur, keren sih. Tapi kepalaku sakit membacanya...
Istilah-istilah di dalam buku ini rasanya lebih sulit untuk dipahami dibandingkan dengan 'badai serotonin Dee'. Mungkin istilah-istilah tersebut sulit dipahami karena kurangnya pemakaian footnote. Dan aku pun terlalu malas untuk googling karena begitu banyaknya istilah yang tidak kupahami. (Maaf, aku harus mengakui bahwa ilmu sosial-ku payah sekali...) Aku tahu, mungkin bagi sebagian orang yang sering mengikuti perkembangan ilmu sosial politik, istilah-istilah yang digunakan di dalam buku ini terasa cukup umum. Tapi, jangan lupa bahwa pembaca novel Gagas terdiri dari berbagai kalangan, dan kurasa dengan pemakaian footnote untuk menjelaskan istilah-istilah tersebut akan membuat novel ini lebih mudah untuk dipahami (hanya saran, sih).
Aku benar-benar menyukai cara Kak Morra mengupas masalah 'perbedaan agama' di dalam buku ini. Hanya saja, satu hal yang kurang kusukai adalah betapa cepat alurnya. Aku masih ingin melihat berbagai adegan manis Piter dan Kamila! Rasanya buku ini terlalu tipis hingga berbagai permasalahan dipadatkan dan malah berakhir menjadi tidak terlalu jelas.
Sebenarnya, cerita cukup apik dikemas melalui sudut pandang orang ketiga. Namun, beberapa kali aku sempat 'kehilangan arah' saat membaca. Aku tidak mengerti apa yang sedang Kak Morra jelaskan... Ada adegan dimana aku tidak mengerti siapa yang sebenarnya sedang diperbincangkan, atau apa adegan ini di masa lalu atau masa sekarang? Sungguh, aku merasa begitu. Tapi, kurasa hanya aku seorang, pembaca What If yang merasa demikian...
Satu hal, satu hal yang membuatku jejingkrakan seperti orang kesurupan adalah ending-nya. Aku sangat membenci ending-nya... Aku memiliki paham tersendiri bahwa seorang penulis adalah 'Tuhan' di dalam cerita yang ia buat. Ia yang menentukan jalinan takdir dari seluruh tokoh di dalam ceritanya. Jadi, bukankah adalah kewajiban 'Tuhan' untuk menyelesaikan guratan takdir para ciptaannya? Sehingga, dengan ending yang dimiliki What If, aku benar-benar tidak dapat memaafkan Kak Morra.... (bercanda)
3 bintang untuk What If by Morra Quatro
Aku menyukai topik yang diangkat.
Aku menyukai Piter. Sangat sangat menyukainya.
Aku membenci dialog-dialog maupun pemikiran rumit Kamila, walau harus kuakui bahwa itu adalah salah satu daya tarik dari novel ini.
Terkadang aku terganggu dengan gaya penulisan Kak Morra yang membuatku 'gagal paham' dengan beberapa adegan (terkadang). Dan demi Tuhan, jangan letakkan 'God simply aims at saving your ass' di belakang sebuah adegan mengharu biru yang nyaris membuatku menangis! Kalimat itu sungguh merusak mood-ku dan menggagalkan air mataku yang nyaris keluar... :(((
Dan terakhir, aku membenci ending-nya. Maafkan aku.
P.S.: Pada titik ini, aku mengikuti lomba review What If hanya agar review-ku dibaca oleh Kak Morra. Ya, teknik serupa yang digunakan oleh Kamila terhadap esai Piter. Aku tak mengharapkan kemenangan, yang penting kakak tahu bahwa aku ada, dan pendapatku yang super berbeda dari seluruh pembaca di Goodreads, didengar oleh Kak Morra. :)
Buku ini kurekomendasikan untuk kalian yang menyukai cerita dengan topik berat, cerita mengenai perbedaan terlebih beda agama, cerita dengan karakter pria so-friggin-adorable, dan juga cerita dengan ending yang dapat membuatmu galau....
No comments:
Post a Comment