388 halaman
Knopf, 2015
eBook-English version
Bacaan bulanan Klub Baca Quirky Reads November 2015
"But that isn't why. The why is that none of it matters. Not school, not cheerleading, not boyfriends or friends or parties or creative writing programs or..." She waves her arms at the world. "It's all just time filler until we die."
-Violet Markey
There are different ways to die. There's jumping off a roof and there's slowly poisoning yourself with the flesh of another every single day.
-Theodore Finch
I know life well enough to know you can't count on things staying around or standing still, no matter how much you want them to. You can't stop people from dying. You can't stop them from going away. You can't stop yourself from going away either. I know myself well enough to know that no one else can keep you "awake" or keep you from "sleeping".
-Theodore Finch
The problem with people is they forget that most of the time it's the small things that counts.
-Theodore Finch
SINOPSIS
Theodore Finch is fascinated by death, and he constantly thinks of ways he might kill himself. But each time, something good, no matter how small, stops him.
Violet Markey lives for the future, counting the days until graduation, when she can escape her Indiana town and her aching grief in the wake of her sister's recent death.
When Finch and Violet meet on the ledge of the bell tower at school, it's unclear who saves whom. And when they pair up on a project to discover the "natural wonders" of their state, both Finch and Violet make more important discoveries: It's only with Violet that Finch can be himself--a weird, funny, live-out guy who's not such a freak after all. And it's only with Finch that Violet can forget to count away the days and start living them. But as Violet's world grows, Finch's begins to shrink.
This is an intense, gripping novel perfect for fans of Jay Asher, Rainbow Rowell, John Green, Gayle Forman, and Jenny Downham from a talented new voice in YA, Jennifer Niven.
------------------------------------------------------------------------------------
Seperti yang tertulis di cover bagian depan, All the Bright Places bercerita mengenai seorang pemuda bernama Theodore Finch dan seorang gadis bernama ultra-Violet re-Markey-ble (Finch sering memanggilnya dengan Ultraviolet Remarkeyble). Walaupun novel ini adalah bacaan bulanan Quirky Reads, tapi aku tidak benar-benar berniat untuk membacanya sampai buku ini akhirnya memenangkan Goodreads Choice Awards for Young Adult Fiction 2015. Dan dengan titel yang begitu menjanjikan, aku pun akhirnya mulai membaca.
All the Bright Places mengangkat sebuah topik yang menarik dan cukup dalam. Yaitu mengenai 'bunuh diri'. Aku tidak familiar dengan topik ini karena 'syukur' tidak pernah mengalami peristiwa dimana orang yang kukenal bunuh diri. Sehingga perlu kuakui bahwa sulit bagiku untuk merasa terhubung dengan perasaan karakter utama di dalam buku ini. Aku tidak dapat mengerti alasan yang membuat mereka melakukan hal semacam itu...
Aku sedikit bingung pada awalnya karena karakter Theodore Finch yang benar-benar 'random' dan 'maaf' memang pantas diberi julukan freak oleh teman-temannya. Theodore Finch di dalam bayanganku adalah seorang pemuda berbadan besar, slengekan, urakan, hiperaktif, random, dan pokoknya sangat tidak bisa diatur. Plus, ia adalah karakter yang sangat cerewet. Oleh sebab itu, aku kesulitan untuk menyukai Finch pada awalnya. Namun menjelang pertengahan cerita, aku mulai terbiasa dengan tingkah super random Finch dan malah menikmatinya. Aku menikmati bagaimana aku tidak dapat menebak apa yang akan dilakukan Finch selanjutnya. Walau semakin ke belakang, ketika aku sudah mulai menikmati, tindakan Finch malah mulai tertebak.
Aku menyukai bagaimana Finch merupakan sosok kakak laki-laki yang baik. Ia memberikan takaran kasih sayang yang pas dan tidak berlebih kepada adiknya, which I found so heartwarming. Aku juga menyukai hubungan Finch dengan kakak perempuannya yang terlihat seperti partner in crime. Dan aku juga menyukai kenyataan bahwa Finch dapat membaca situasi dan menyesuaikan sikapnya dengan keadaan. Ia bukan tipe pria yang tidak dapat diatur. Ia adalah seorang gentleman yang mengerti kapan harus membebaskan dirinya, dan kapan harus bertingkah sesuai dengan aturan (kecuali aturan sekolah, tentunya). Dan pada pertengahan cerita, aku sudah dibuat jatuh cinta pada Finch.
Di sisi lain, aku kesulitan untuk menyukai karakter Violet Markey. Mungkin lebih terhadap masalah Violet Markey yang terasa klise bagiku. Seorang gadis yang tidak dapat berhenti menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang menimpa dirinya dan kakaknya. Kakaknya meninggal, sementara ia selamat. Aku tidak merasa terhubung dengan Violet. Aku tahu kehilangan seseorang pasti sangat menyakitkan. Tapi kematian kakaknya sudah lama berlalu dan ia masih tidak dapat move on sampai sekarang. Ia berhenti menjadi 'Violet' dan mulai menjadi 'Eleanor', kakaknya. Lalu, apa yang bisa ia dapat dari menjadi seorang Eleanor? Nothing. Dan itulah mengapa aku tidak terlalu menyukai Violet Markey.
Interaksi antara kedua karakter sebenarnya cukup manis. Ada adegan-adegan di mana aku merasa 'aww... Finch, stop doing something like that or you will make me fall for you!' Yang ironi-nya, sudah kulupakan. Padahal aku baru membacanya kemarin... Jadi dengan kata lain, adegan di dalam novel ini cukup manis, namun tidak meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Aku menyukainya, tapi tidak sampai terpatri di benakku dan kuputar berulang kali.
Aku menyukai bagaimana penulis menggabungkan topik yang berat dengan hal-hal yang lebih ringan seperti perjalanan Finch dan Violet dalam mengunjungi tempat-tempat menarik di Indiana. Aku merasa hubungan Violet dan Finch terlalu cepat terbentuk, tapi di lain sisi kurasa itu adalah hal yang normal jika karakternya adalah pria se-agresif Finch. Dan di akhir cerita, aku merasa cerita terlalu diulur-ulur hingga aku tidak sabar dan nyaris melongkap halaman hanya untuk melihat akhir yang 'sebenarnya'.
All the Bright Places sering disandingkan dengan The Fault in Our Stars serta Eleanor & Park. Dan aku tidak dapat memungkirinya. Aku belum pernah membaca Eleanor & Park, jadi aku tidak dapat mengomentari apa-apa mengenai kemiripan kedua buku tersebut. Namun perlu kuakui bahwa All the Bright Places memiliki beberapa kemiripan dengan The Fault in Our Stars.
Tokoh yang unik dan seakan memiliki dunia sendiri (check).
Tokoh yang gemar meng-quote kalimat-kalimat bijak/indah dari orang-orang terkenal (check).
Rokok yang tidak dinyalakan *I'm serious* (check).
Aku merasa All the Bright Places adalah The Fault in Our Stars versi lebih menyenangkan, lebih 'membumi', lebih mirip dengan gambaran remaja pada umumnya, dan lebih tidak mendalam (maaf). Aku merasa Jennifer Niven melewatkan begitu banyak kesempatan untuk dapat membuatku menangis. Banyak sekali adegan yang seharusnya dapat ia perdalam detailnya untuk disisipkan bagian-bagian yang akan menyayat hati setiap pembaca. Tapi, sayangnya ia lewatkan.
Aku merasa sangat tidak tersentuh dengan ending-nya, aku tidak dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh karakter dalam novel karena kurangnya penjelasan secara mendetail. Berbeda dengan TFIOS. Aku ingat benar bagaimana aku menangis tak karuan saat membaca eulogy yang dibawakan oleh Hazel untuk Agustus. Namun di All the Bright Places, aku tidak dapat menemukan adegan serupa. Serupa dalam artian dapat menarikku hingga begitu dalam dan ikut menangis bersama dengan karakter di dalamnya.
Dalam bahasa gaul, aku akan mengungkapkan All the Bright Places sebagai 'kurang nendang'. Seperti memakan cabai tapi kurang pedas, tentu rasanya tidak enak, bukan?
Tapi toh, banyak sekali orang yang menangis saat membacanya. Mungkin aku hanya kurang sensitif dan tidak berperasaan. Haha...
3,5 bintang untuk All the Bright Places by Jennifer Niven.
3 bintang untuk keseluruhan cerita.
Dan 0,5 bintang untuk keberhasilan Author's note yang tidak dapat berhenti membuatku merinding karena sepertinya sebagian dari cerita ini didasarkan dari pengalaman pengarangnya sendiri. Dan alhasil membuat keseluruhan cerita menjadi lebih dalam karena aku tidak menyangka drama semacam itu dapat benar-benar terjadi di dunia nyata.
Cerita ini kurekomendasikan untuk kalian yang menyukai The Fault in Our Stars, karakter yang unik, serta cerita yang kelam dan mengharu biru.
Happy Reading ~^^
No comments:
Post a Comment