Pages

Tuesday, December 22, 2015

[EARLY BOOK REVIEW] The Lunar Chronicles #1: Cinder by Marissa Meyer


373 halaman
Penerbit Spring, 2016
Indonesian Version

"Akan lebih mudah menyuruh orang lain untuk menganggapmu cantik kalau kau bisa meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau memang cantik. Tapi, cermin memiliki cara yang luar biasa untuk mengatakan yang sebenarnya.”
-Dr. Erland, hal. 168

Cinder, buku pertama dari The Lunar Chronicles mengambil setting waktu pada era setelah perang dunia keempat. Di era tersebut, android dan manusia hidup saling berdampingan satu sama lain. Bumi hanya dibagi menjadi enam negara yaitu Kerajaan Inggris, Uni Afrika, Federasi Eropa, Republik Amerika, Australia, dan Persemakmuran Timur. 

Linh Cinder adalah seorang mekanik handal di daerah New Beijing, Persemakmuran Timur. Ia tinggal bersama dengan ibu tirinya, Adri, serta kedua saudara tirinya, Peony dan Pearl. Ia juga memiliki sebuah android pembantu bernama Iko yang sangat menggemaskan. Sepintas, Cinder terlihat seperti seorang gadis biasa. Tidak banyak yang tahu bahwa ia adalah cyborg, makhluk hidup dengan beberapa bagian tubuh robot. 

Setidaknya, hanya hidup sebagai seorang cyborg mekanik yang perlu Cinder khawatirkan. Hingga hari yang seharusnya berakhir bahagia karena pertemuannya dengan Pangeran Kaito, berbalik arah dan mengubah hidupnya.  

Seperti yang mungkin kalian semua telah ketahui, Cinder adalah penceritaan ulang dari cerita klasik karya Grimm bersaudara yang berjudul Cinderella. Walau ada banyak unsur-unsur utama dari cerita klasik Cinderella yang dipertahankan, banyak juga unsur-unsur baru yang ditambahkan. Seperti dunia futuristik yang tentunya berbeda jauh dengan setting cerita klasik Cinderella, wabah mematikan, dan juga perseteruan antara manusia bumi dengan manusia bulan. Unsur-unsur tambahan tersebut terkadang berhasil membuatku lupa bahwa Cinder adalah penceritaan ulang dari Cinderella. Sehingga aku dapat mengatakan bahwa Cinder bukanlah sekedar penceritaan ulang dari sebuah dongeng klasik, Cinder berbeda.

Selain memiliki konflik tambahan, Cinder juga memiliki karakter-karakter tambahan. Dan anehnya, karakter-karakter tambahan itulah yang malah membuatku jatuh cinta terhadap buku ini. Bukan karakter utama seperti Cinder atau Pangeran Kaito, melainkan tokoh pembantu seperti Iko atau Dr. Erland.


Iko adalah android pembantu Cinder. Iko dikisahkan sebagai android wanita yang cerewet dan sering disebut sebagai android dengan kesalahan pemrogaraman karena tingkahnya yang unik. Namun bagiku Iko sangat menggemaskan sehingga ingin sekali rasanya aku memiliki sebuah android seperti Iko. Sementara Dr. Erland adalah ilmuwan kerajaan yang digambarkan sebagai pria tua dengan tubuh kecil dan pendek. Aku membayangkannya seperti Profesor Archimedes Quincy Porter--ayah Jane Porter--di film Tarzan.


Profesor Archimedes Quincy Porter :D 

Iko dan Dr. Erland adalah dua karakter favoritku di dalam novel ini. Cukup aneh, bukan? Mengingat karakter utama dari novel ini adalah Cinder dan Pangeran Kaito. Sayangnya, aku tidak terlalu tergila-gila dengan karakter dari Pangeran Kaito maupun Cinder. Karakter Cinder sebenarnya cukup menarik mengingat ia adalah gadis cyborg dengan segudang masalah lainnya. Ia adalah seorang pekerja keras dan juga seorang gadis yang pemberani. Cinder akan cukup mudah untuk diingat karena berapa banyak novel sih yang memiliki seorang gadis cyborg sebagai tokohnya? 

Sayangnya, karakter Pangeran Kaito tidak dapat memesonaku. Tidak ada hal yang istimewa dari diri Kaito. Selain gelarnya sebagai seorang Pangeran dari Persemakmuran Timur, ia hanyalah seorang pria yang ramah, mudah tersenyum, dan juga mudah melemparkan rayuan terhadap Cinder. Bagian diri Kaito yang tidak terlalu kusukai adalah bagaimana ia terlalu mudah memercayai orang lain. Aku tahu justru itu adalah hal yang menarik mengingat ia tetap dengan mudahnya akrab dengan 'rakyatnya' walau ia adalah bagian dari keluarga kerajaan. Tapi bagiku, ia bersikap terlalu naif. Ia adalah seorang pangeran, dan oleh sebab itu ia harus cukup bijaksana dalam menyimpan sendiri rahasia-rahasia kerajaan serta dalam bertindak. 

Terlepas dari kenaifan Kaito yang menggangguku, ia sebenarnya cukup manis. :) 

Alur cerita Cinder sendiri sebenarnya dikemas secara apik dengan berbagai permasalahan-permasalahan kompleks dan twist-twist yang menarik. Sayangnya perkembangan hubungan antara Cinder dengan Pangeran Kaito terasa sedikit terlalu cepat. Aku akan lebih menikmatinya jika dapat membaca lebih banyak lagi adegan antara Cinder dengan Pangeran Kaito. Tapi seperti yang kita ketahui, di dalam cerita aslinya pun, Cinderella bahkan belum pernah berbicara dengan pangeran sebelum malam mereka berdansa bersama. 

Satu hal yang ingin kuketahui lebih lanjut mengenai Cinder adalah dunia tempatnya tinggal. Karena buku ini tidak terlalu mengeksplorasi dunia tersebut. Pembaca hanya disuguhkan fakta yang ada tanpa dilengkapi penjelasan akan penyebabnya. Seperti, mengapa dunia hanya dibagi menjadi enam negara? Sejak kapan android dan manusia hidup bersama? Dan banyak hal lainnya. Aku juga penasaran bagaimana gaya hidup para penduduk di era tersebut. Apa jauh berbeda dari abad-21 atau cukup mirip? Aku harap hal-hal itu dapat dijawab di buku-buku selanjutnya atau di buku pelengkap The Lunar Chronicles. Karena akan sangat menyenangkan untuk dapat mengeksplor lebih jauh dunia yang ditinggali oleh Cinder. 

Oh ya, walau Cinderella adalah cerita klasik yang dapat dikatakan cukup kuat dalam segi romance. Namun Cinder tidak memiliki terlalu banyak porsi romance di dalamnya dan aku sangat menikmatinya.

Terjemahan bahasa Indonesia-nya sendiri sangat rapi dan juga mengalir, enak dibaca. Kata-kata yang sulit dipahami atau merupakan referensi dari sesuatu akan dijelaskan di catatan kaki. Sehingga aku tidak perlu bolak-balik google hanya untuk mengecek arti dari sesuatu yang tidak kupahami. Yang mana adalah hal yang paling kubenci ketika sedang membaca buku. 

4 bintang untuk Cinder karya Marissa Meyer

Terlepas dari seluruh keluhanku seputar Cinder, aku tetap merasa puas di akhir perjalananku dengan buku ini. Satu hal yang membuatku tak ragu untuk memberi 4 bintang untuk Cinder adalah karena kekagumanku terhadap Marissa Meyer sendiri. Lebih mudah untuk memukau orang menggunakan ide cerita baru daripada ide cerita yang sudah digunakan berulang kali. Dan di dalam Cinder, Marissa Meyer membuktikan bahwa dengan cerita yang sudah diketahui oleh sejuta umat pun, ia masih dapat mengubahnya menjadi sebuah cerita baru yang menyenangkan untuk dibaca.

Aku sudah tidak sabar untuk membaca lanjutan dari Cinder yaitu Scarlet, Cress, dan Winter. Keempat buku tersebut akan diterbitkan oleh Penerbit Spring secara berkala, satu buku untuk setiap bulan. Dan buku pertama, Cinder, akan diterbitkan mulai Januari 2016. Yey! Aku sudah tidak sabar untuk memajangnya di rak bukuku. Aku senang karena Penerbit Spring memakai sampul aslinya dan hanya mengubah beberapa detail di sana-sini, selebihnya sama. Sampulnya terlihat sangat cantik. 


Buku ini kurekomendasikan untuk kalian yang menyukai novel dengan tema penceritaan ulang cerita klasik, novel fantasi, dan juga novel dengan setting dunia futuristik. 

2 comments:

  1. nice review.
    Karena ngga melulu bilang bagusnya tapi juga hal-hal yg mengganjal.

    ReplyDelete